Sejarah Demografi Indonesia
|
Tuesday, 24 March 2020
Kepulauan Nusantara telah lama menjadi kediaman bagi ratusan populasi etnik dan budaya. Kini jumlahnya paling tidak sudah lebih dari 500 populasi. Penduduknya juga menuturkan lebih dari 700 bahasa yang berbeda. Kenyataan ini sering kali memunculkan pertanyaan: siapa sebenernya manusia Indonesia? Datang dari mana leluhurnya? Sejak kapan mereka mendiami kawasan ini?Secara geografis, kata Herawati, Kepulauan Nusantara berperan penting sebagai penghubung daratan Asia dan Kepulauan Pasifik. Dua model telah digunakan untuk menerangkan migrasi yang kemudian membentuk populasi penghuni Asia Tenggara masa kini. Berdasarkan temuan arkeologi, Asia Tenggara mulai dihuni manusia modern sekira 50.000-70.000 tahun lalu.
Studi genetik yang dilakukan oleh konsorsium HUGO-Pan Asia memperlihatkan, semua populasi Asia Timur maupun Asia Tenggara berasal dari gelombang pertama migrasi Out of Africa. Migrasi ini menyusuri jalur selatan sekira 40.000-60.000 tahun lalu. Sementara itu, berdasarkan model Out of Taiwan, penyebaran penutur Bahasa Austronesia terjadi sekira 5.000-7.000 tahun lalu.
Dalam pembentukannya menjadi manusia Indonesia, kata Herawati, secara genetis terdapat empat gelombang migrasi yang berkontribusi. Gelombang awal, nenek moyang datang 50.000 tahun lalu melewati jalur selatan menuju Paparan Sunda yang ketika itu masih menggabungkan Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaya.
Cikal bakalnya, dalam pengembarannya, manusia modern (Homo sapiens) dimulai dari Benua Afrika sekira 150.000 tahun lalu. Pada 30.000 tahun kemudian, sekelompok manusia melakukan perjalanan ke utara melalui Mesir dan Israel. Namun, jejak mereka hilang.
Kelompok lainnya, sekira 72.000 tahun lalu berpindah ke bagian selatan semenanjung Arab menuju India. “Manusia non-Afrika, termasuk kita, merupakan kelompok keturunan ini,” jelas Herawati.
Herawati melanjutkan, pada 40.000 tahun lalu ada dua kejadian migrasi. Ada kelompok yang pindah ke utara dari Pakistan melewati Sungai Indus dan bergerak ke Selat Bering. Inilah para penghuni Benua Amerika yang sebenarnya baru dihuni kurang lebih 15.000 tahun lalu. Jauh lebih muda dari penghuni Kepulauan Nusantara.
“Pada jalur lebih muda, memperlihatkan nenek moyang yang berasal dari Afrika Timur pergi ke utara menyebar melalui lembah Sungai Nil, Semenanjung Sinai atau melalui Laut Merah ke Saudi Arabia ke selatan, melewati Indonesia sampai ke Australia,” papar Herawati.
Gelombang kedua adalah kontribusi dari Asia daratan. Ini adalah kelompok yang menuturkan Bahasa Astroasiatik. Mereka berpindah ke selatan masuk ke Nusantara dari daratan Asia melewati Semenanjung Malaya. Saat itu, Semenanjung Malaya masih menyatu dengan Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Gelombang ketiga merupakan ekspansi dari utara. Pada periode sekira 4.000 tahun lalu mereka bermigrasi dari daerah Cina Selatan, menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi, dan Kalimantan. Mereka inilah yang membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini terjadi mulai dari Madagaskar hingga ke Pulau Paskah di dekat Amerika.
“Kalau lihat dari bahasanya, bahasa yang kebanyakan dipakai sekarang adalah Bahasa Austronesia. Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” jelasnya.
Gelombang keempat terjadi pada zaman sejarah. Ini termasuk periode Indianisasi dan Islamisasi di Kepulauan Nusantara.
Empat gelombang migrasi yang melalui Kepulauan Nusantara itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya keragaman pada masa kini. Tapi seberapa jauh pembauran yang ada?
Herawati membuktikannya melalui studi genetika. Dia melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan penanda DNA.
Berdasarkan sampel penanda DNA mitokondria yang hanya diturunkan melalui garis ibu, diketahui periode hunian awal di Kepulauan Nusantara berkisar antara 70.000-50.000 tahun lalu. Sementara analisis penanda kromosom Y yang hanya diturunkan dari garis ayah memperlihatkan adanya bukti pembauran beberapa leluhur genetik.
“Pembauran makin jelas dengan menggunakan penanda genetik yang ditemukan dalam inti sel, yaitu DNA autosom, yang diturunkan dari kedua orang tua,” jelas Herawati.
Penelitian tersebut menguak populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik. “Nenek moyang penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang terungkap dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujarnya.
Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo.
Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia. Ini dibuktikan dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur Bahasa Austronesia.
“Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya. Dengan gambaran ini kita baru bisa bicara tentang diri sendiri,” jelas Herawati.
Lalu bagimana menjelaskan adanya perbedaan fisik, seperti kulit misalnya? Dia menjelaskan, dalam pengembaraan para nenek moyang hingga ke Nusantara, mereka banyak menemui kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering, pinggir pantai yang bersuhu tinggi dan berkadar garam tinggi, sinar ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA.
“Pigmentasi itu ada kodenya oleh DNA,” ucapnya. Bagaimana kemudian kondisi itu bisa menciptakan warna kulit, bahkan perbedaan jenis rambut, penelitian mengenai itu hingga kini masih berlanjut.
Menurut Herawati, melalui penelitian genetika, kita mengetahui migrasi manusia sampai ke Nusantara yang menjadi nenek moyang orang Indonesia. Agaknya tak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia. Sebab, tak ada pemilik gen murni di Nusantara. “Manusia Indonesia adalah campuran beragam genetika, yang pada awalnya berasal dari Afrika,” tegas Herawati.
Adanya teori Out of Africa yang menyebut manusia modern berasal dari Afrika ratusan ribu tahun yang lalu memang cukup membingungkan jika para ilmuwan tidak menjelaskannya dengan lengkap. Herawati mengatakan bahwa persebaran manusia dari Afrika ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, terjadi dalam beberapa tahap yang berlangsung selama ratusan ribu tahun. Sehingga tidak heran jika pada prosesnya terjadi perubahan dalam bentuk fisik akibat perbedaan lingkungan dari tempat asalnya, yakni Afrika.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Colin Groves, profesor Biological-Anthropology di Australian National University, dalam Bones, Stones, and Molecules: Out Of Africa and Human Origins, menyebut jika perubahan bentuk fisik manusia terpengaruh oleh tempat tinggal mereka setelah keluar dari Afrika.
Dalam mengungkap tabir genetika manusia di seluruh dunia, menurut Herawati, Indonesia memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam proses pencariannya. Sejak dahulu, wilayah Indonesia telah menjadi tempat manusia berlalu-lalang. Dan dari sinilah jenis-jenis manusia tersebar ke daerah-daerah sekitarnya. Seperti manusia dari daratan Asia yang bergerak ke arah timur menuju Pasifik atau ke selatan menuju Australia, sudah tentu akan melewati Indonesia terlebih dahulu.
“Indonesia di tingkat genetika populasi dunia sangat penting. Sumbangan kita terhadap genetika molekul itu terbesar. Jadi kunci penyebaran manusia itu ada dikita,” katanya.
Saat proses persebaran terjadi, tidak hanya fisik saja yang terpengaruh, tetapi kebiasaan, bahasa, budaya, bahkan komposisi gen pun ikut berubah. Hal itu terjadi saat manusia mulai melakukan pembauran dengan manusia lain yang memiliki perbedaan secara DNA.
Periode perubahan gen masyarakat Indonesia berlangsung selama ribuan tahun. Tergantung dari tempat mereka tinggal. Sehingga setiap kelompok masyarakat memiliki periode yang berbeda. Seperti proses pembentukan etnis Banjar di Kalimantar yang diperkirakan memakan waktu 1.300 tahun, hasil campuran etnis Dayak dan Melayu.
“Menarik bahwa ternyata pencampuran etnis di Indonesia itu sudah berlangsung lama sekali. Prosesnya memang alami, namun dipengaruhi oleh banyak faktor,” kata Ahmad Arif, wartawan Kompas yang menjadi pembicara di acara kajian sains modern “Asal-Usul Manusia Indonesia”.
Di Indonesia proses pembauran terbesar terjadi pada era perdagangan hingga kolonial, yang telah dimulai sejak abad-abad pertama Masehi. Pada periode tersebut banyak bangsa yang datang ke Nusantara membawa DNA campuran dari wilayahnya masing-masing.
Para pedagang dari Arab, Tiongkok, India, Afrika, dan Eropa, yang melakukan kontak dengan masyarakat lokal perlahan mulai mengalami perubahan di dalam genetikanya. Mereka terpengaruh oleh keadaan lingkungan, kebiasaan, makanan, dan segala jenis interaksi yang terjadi di Nusantara. Di samping hubungan pernikahan.
“Orang yang tinggal di pesisir, seperti masyarakat Jawa pesisir, pasti ada gen Chinanya, Indianya, sama Arabnya, walau ga semua. Karena memang itu tempat pertemuan genetis,” kata Herawati kepada Historia.
Keadaan itu berlaku juga bagi masyarakat Indonesia, baik yang tinggal di pesisir ataupun pegunungan. Masyarakat pesisir yang berinteraksi langsung dengan bangsa asing, ditambah lingkungan laut, memiliki bentuk genetika yang berbeda dengan masyarakat pedalaman, yang umumnya dipengaruhi oleh gen dalam lingkup yang lebih sempit.
Sebagai contoh, Ahmad Arif melakukan tes DNA di salah satu laboratorium genetika di Amerika dan Lembaga Biologi Molekular Eijkman. Ia menggunakan sampel darah dan saliva (air liur) untuk melihat komposisi gen di dalam dirinya. Hasilnya memperlihatkan bahwa leluhur Ahmad berasal dari Tiongkok sekitar 9.000 tahun lalu yang menyebar ke kawasan barat dan selatan Asia Tenggara hingga akhirnya masuk ke Pulau Jawa.
“Misalnya saya yang dikonstruksikan sebagai orang Jawa ternyata DNA saya menceritakan bahwa leluhur saya itu macam-macam. Ada yang sekitar 200 tahun lalu dapat tambahan dari China, ada tambahan dari Asia Selatan, dan seterusnya. Jadi saya menjadi Jawa pun bukan berarti paling pribumi karena semua pun ada jejak pembaurannya,” kata Ahmad kepada Historia.
Lalu seberapa murni gen manusia yang disebut masyarakat asli Indonesia? Ahmad menegaskan bahwa tidak ada satupun orang Indonesia yang memiliki gen murni atau gen yang tidak bercampur. “Baca DNA menurut saya bisa dibawa kemana aja, bisa bilang mana yang murni. Walau sebenarnya secara ilmiah gaada yang paling murni, semua orang pasti campuran,” tutupnya.
No comments:
Post a Comment